Desa Lirboyo Dan Pondok Lirboyo |
Lirboyo
adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya
Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan
para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo.
Berdiripada tahun 1910 M.. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang
Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang
bernama KH. Abdul Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa
Tengah.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya
dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun
1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari
perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh
Banjarmelati.Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim) di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram. Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana. Santri Perdana dan Pondok Lama Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya. Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok. Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo. Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok. Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang. Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah. Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai kini bila berjama'ah sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam. PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN MEMPERTAHANKANNYA Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH. Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya. Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi. Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) . Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar. Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang. Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu. Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal 16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali. Kemudian disusul tanggal 29 September 1945dengan pasukan dan peralatan perang yang lebih komplit. Karuan saja, kedatangan mereka disambut dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia. Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU yang ada di Jawa dan Madura untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya. Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk pesantren Lirboyo. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya. Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia. Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30 Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris yang masih berusia 45 tahun. Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya. Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh. Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri. Pondok Pesantren Haji Mahrus (HM)
Pondok Pesantren ini terletak kira-kira 100 M. sebelah
timur Masjid Lirboyo. Pesantren yang biasa disebut dengan Pondok
Pesantren Lirboyo HMC ini berdiri pada tahun 1952. Pada mulanya,
almaghfurlah KH. Mahrus Aly tidak bermaksud mendirikan Pondok, hanya
secara kebetulan beliau diberi lahan oleh almaghfurlah KH. Abdul Karim
untuk membuat rumah sekaligus majlis ta’lim sebagai sarana mangajarkan
atau membacakan kitab-kitab kepada para santri. Kemudian di sebelah
utara dari majlis ta’lim dibuat sebuah kamar yang sangat sederhana,
dengan ukuran 2 M. x 4 M., sekedar tempat istirahat bagi santri yang
sehari-harinya sebagai khodim beliau.
Pada tahun 1958, santri yang bermukim bertambah menjadi 20 orang. Sejak itulah, pembangunan demi pembangunan mulai dilaksanakan. HMC yang mulanya hanya memiliki tiga kamar, lalu bertambah enam kamar, dan tambah satu kamar lagi yang di bangun oleh dermawan dari Losari, Cirebon. Melihat perkembangan HMC, yang saat itu dihuni sekitar 150 santri, menggugah H. M. Ma’mun (asal Gebang, Cirebon) bersama rekan-rekanya, untuk ikut membangun tempat hunian para santri. Pada saat itu, mayoritas santri HMC berasal dari Jawa Barat dan sedikit dari Brebes, Tegal dan daerah lainya. Meski demikian, almaghfurlah KH. Mahrus Aly masih tetap belum berani mengatakan bahwa tempatnya adalah pondok pesantren tersendiri, tapi hanya merupakan HP (Himpunan Pelajar) diantara beberapa HP yang ada di Lirboyo. Yaitu disebut dengan HP HM, Himpunan Pelajar yang berada di majlis ta’lim H. Mahrus. Sementara masalah keorganisasian, kepengurusan dan tata administrsi lainnya, masih mengikuti pada kebijaksanaan pondok Induk. Baru pada tahun 1962, HMC resmi menjadi pondok unit yang segala administrasi dan kepengurusannya ditentukan oleh pondok HM. Saat itu pula, KH. Mahrus Aly mengumumkan kepada para santri bahwa Musholla HM beralih status menjadi masjid yang bisa dibuat untuk i’tikaf. Pada dasarnya, sistem pendidikan Pondok HM yang saat ini diasuh oleh KH. Abdulloh Kafabihi Mahrus, mengikuti sistem pendidikan yang ada di Pondok Induk yaitu Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Pesantren yang saat ini (tahun 2011) memiliki santri sebanyak 577 orang dengan ketua A. Akrom Hasani, telah memiliki beragam fasilitas. 6 ruang musyawarah, 35 kamar santri (masih dalam proses penambahan), puluhan kamar mandi, ruang tamu, aula, dan beberapa fasilitas lainnya. Pondok Pesantren Haji Ya’qub (HY)
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
Pondok Pesantren Haji
Ya’qub adalah pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Ya’qub bin
Sholeh, adik ipar sekaligus sahabat KH. Abdul Karim (Mbah Manab) dan KH.
Ma’ruf Kedunglo. Beliau adalah orang yang diberi amanat oleh KH. Sholeh
Banjarmlati (Ayahanda KH. Ya’qub) untuk mendampingi Mbah Manab dalam
menangani keamanan di Pon. Pes. Lirboyo dan mendampingi Mbah Ma’ruf
dalam menangani keamanan di Pon. Pes. Kedunglo yang dikala itu masih
angker dan banyak penjahat yang mengganggu ketenangan pondok pesantren
dan meresahkan para santri.
Perkembangan PPHY mulai tampak pada tahun 1978,
santri yang ada di PPHY ± sebanyak 60 orang dan pada waktu itu masih
belum terbentuk Himpunan Pelajar (HP) dan sistem pembayarannyapun masih
langsung ke Pondok Induk. Kegiatan ekstrakurikuler sebagai wadah
kreativitas santri (khithobah, dziba’iyah, tahlil dan cara berorganisasi) saat itu masih terkemas dalam sebuah jam’iyyah yang bernama Jam’iyyah Ar-Rohmah.
Untuk menampung santri yang terus bertambah maka dibangunlah asrama pertama pada tahun 1979, biasa disebut dengan Pondok Lama yang sekarang berada disebelah selatan ndalem K. Nur Muhammad. Sementara Himpunan Pelajar baru berdiri pada tahun 1985 yang diketuai oleh Bapak Zumar M (Semarang).
Perkembangan selanjutnya berdiri pula
jam’iyyah sholawat nariyah ba’da Maghrib yang dipimpin olen Beliau K.
Ihsan Bukhori (menantu Mbah Ya’qub) dan pada tahun 1988
berdiri pula sholawatan setelah sholat jum’at yang diprakarsai oleh
Bapak. Nurul Mubin (Mojokerto). Perjalanan sejarah berikutnya adalah
dirintisnya Musyawarah Fathal Qorib di tahun 1992 oleh Bpk. Lutfi.
Sementara di tahun 1993
perkembangan di tubuh PPHY adalah berdirinya Madrasah Diniyah Haji
Ya’qub yang dikepalai oleh Bpk. Widodo Ahmad (Kediri) dan Sekretaris
Bpk. Rosihin (Pekalongan). Tujuan didirikannya MDHY ini adalah untuk
menampung santri yang sekolah di luar pesantren (sekolah formal) atau
santri yang tidak bisa mengikuti Madrasah Diniyah di Pondok Induk (MHM)
disamping juga anak dari kampung. Berawal dari 56 siswa dan bertempat di
kamar-kamar dan Mushalla, kegiatan belajar mengajar pun dimulai dan
lambat laun bertambahlah siswa yang mengais ilmu di madrasah ini hingga
akhirnya saat ini mencapai ±294 siswa.
Di tahun 1994, Jam’iyyah di PPHY berkembang menjadi beberapa wilayah yaitu, Jam’iyyah
Kasbiyah (sekarang diganti Jam’iyyah Al Anshoriyah), Jam’iyyah
Futuhiyyah, Jam’iyyah Raudlatut Thalabah dan Jam’iyyah Hablul Ukhuwah,
pada tahun ini juga berdiri kegiatan istighotsah yang lebih
terorganisir dengan dikepalai oleh Bpk. Widodo Ahmad. Pos-pos penjagaan
di lingkungan pondok juga mulai dibangun yang pada waktu itu kepala
keamanannya Bpk. Ahmad Hamim Umar (Sidoarjo) dan mulai dilaksanakannya
hukuman bagi yang melanggar peraturan berupa guyuran. Sementara
Musyawarah Gabungan Shugra (MGS) yang pesertanya siswa ibtida’iyah MHM
dan MDHY berdiri pada tahun 2000.
Sejak berdirinya PPHY, masyarakat
sekitar pondok yang pada awalnya merasa kurang menerima adanya komunitas
pesantren disekelilingnya, lambat laun menyadari akan urgennya
sebuah pondok pesantren, dengan bukti ada sebagian masyarakat yang ikut
andil dalam memajukan pondok pesantren. Diantaranya dengan mengikuti
sekolah madrasah diniyah di pondok pesantren, serta membantu kerja bakti
di lingkungan pondok. Dan dalam kurun 10 tahun sampai 2011 ini hubungan
masyarakat dengan keluarga besar PPHY semakin terjalin yang berdampak
semakin bertambahnya jumlah santri dan kemajuan-kemajuan di lingkungan
pondok.
Untuk menjalin kekerabatan dengan masyarakat luas dan sebagai syiar pondok, PPHY juga ikut andil dalam berbagai event
lomba. Terbukti pada tahun 2008 juara I Festival Pencak Silat Pagar
Nusa Tingkat Jatim, Juara I lomba Lalaran di GNI Kediri, juara Favorit
Festival Musik Islami Tradisional di PP. Lirboyo, juara Favorit Lomba
Pidato Bhs Arab Tingkat Kota Kediri. Pada tahun 2009 juga juara II
Festival Musik Islami di PP. Lirboyo dan juara II Festival Lalaran &
Musik Dapur Se-Karesidenan Kediri, sedangkan pada tahun 2011 ini
delegasi PPHY meraih juara II cabang lomba Bola Volly Santri yang
diadakan oleh panitia peringatan satu abad Lirboyo.
Pondok yang beralamatkan Po. Box. 192 Kota Kediri 64101 Telp. (0354) 772118 berada dalam geografis sebagai berikut:
- sebelah barat berbatasan dengan rumah Bapak Asy’ari
- sebelah selatan berbatasan dengan mushalla kampung
- sebelah timur berbatasan dengan persawahan
- sebelah utara berbatasan dengan jalan KH. Abdul Karim
Di bawah asuhan KH. Rofi’i Ya’qub dan K.
Nur Muhammad. Para santri di pesantren ini hidup sederhana dan sebagian
mencari biaya hidup sendiri.
Pondok Pesantren yang pada tahun 2011
ini dinahkodai oleh Bpk. Wildan Habibi (Kediri) dengan Sekretarisnya
Bpk. M. Mahfud (Semarang) dan Bendahara Bpk. M. Habibi (Kediri) ini
terus berbenah diri. Disamping melaksanakan kegiatan utama yaitu
mengaji, dipondok yang sampai pada bulan November 2011 jumlah santri
yang muqim ± 395 ini juga diadakan kegiatan ekstra diantaranya adalah
seni baca Al Qur’an setiap jum’at sore, pencak silat pagar nusa aliran
cimande, rebana, sorogan kitab, bandongan/kilatan, LBM & MGS..
Beberapa fasilitas yang ada diantaranya:
25 asrama santri, 1 kantor pendidikan, 1 kantor keamanan sebagai tempat
perizinan para santri, 1 kantor PLP, ruang tamu berlantai dua lengkap
dengan MCK untuk tamu, kantor madrasah serta MCK santri yang pada awal
tahun 2009 lalu telah selesai dibangun, MCK untuk santri ini merupakan
sebuah program kerjasama dengan SANIMAS (Sanitasi Oleh Masyarakat).
Terdiri dari 12 kamar bisa menghasilkan Biogas dan dimanfaatkan oleh santri untuk memasak.
Sementara MDHY dengan jenjang pendidikan
12 tahun (6 tahun Ibtida’iyah, 3 tahun Tsanawiyah dan 3 tahun Aliyah)
yang saat ini pucuk pimpinannya dipegang oleh Bpk. M. Sodikin (Jepara)
dan Sekretaris Bpk. Misbah Abidin (Madiun) terus membenahi diri mencari
format pendidikan yang efektif dan efisien dengan sistem masuk sekolah
jam 19.00 – 21.00 WIS dan musyawaroh pada jam 16.45 – 18.00 WIS serta
para siswa pun diwajibkan mengikuti sorogan kitab 2 kali dalam satu
minggu dan Musyawaroh Gabungan Sughro yang diadakan tiap malam Ahad
(beranggotakan siswa MDHY dan siswa Ibtidaiyah MHM)
AKTIVITAS DAN KEGIATAN
Pondok Pesantren HM Al Mahrusiyyah
PP. HM Al-Mahrusiyah dirintis sejaka tahun 1987.
Lembaga pendidikan ini adalah penampung siswa, mahasiswa dan mahasiswi
yang belajar dibawah naungan Yayasan Pendidikan Islam Tribakti (YPIT).
Pondok Pesantren Al-Mahrusiyyah sendiri memiliki bebearapa lembaga : PP.
HM Putra/Putri Al-Mahrusiyyah, Madrasah Diniyah Al-Mahrusiyyah,
Madrasah Murottilil Qur’an Al-Mahrusiyyah, Institut Agama Islam Tribakti
(IAIT), Madrasah Alitah HM Tribakti, Madrasah Tsanawiyah HM Tribakti,
TK Kusuma Mulia Tribakti, koperasi Pondok Pesantren dan perpustakaan
Pondok Pesantren.
Untuk PP HM Putri Al-Mahrusiyyah, diresmikan pada tanggal 06 Januari 2001. Dan tertanggal 18 Desember 2003, pesantren ini resmi membagi lokalnya (lokasi) menjadi dua. Satu bertempat di jalan KH. Abd. Karim No. 99 Lirboyo, dan satunya berada di jalan Penanggungan No. 44B. Sedangkan PPHM Putra Al-Mahrusiyyah, resmi berdiri pada 13 mei 2002 M. Sampai Saat ini, PP. HM Putri Al-Mahrusiyyah dihuni 309 orang Santriwati. 203 orang berdomisili di PP. HM Putri Al Mahrusiyyah I (barat) dan selebihnya bertempat tinggal di PP. HM Putri Al-Mahrusiyyah II (selatan). PP. HM Al-Mahrusiyyah yang saat ini dipimpin Hj. Siti Mustaqimah (asal Bekasi) dengan sekretaris Lathifatur Rohmaniyah (asal Mojokerto), mengalami kemajuan cukup pesat. Para santrinya, selain mengikuti pelajaran formal pagi hari dan sore harinya, juga melaksanakan beberapa kegiatan lainnya. Seperti Manaqib Syekh Abdul Qodir, Tilawatil Qur’an, Jama’ah Sholat Dhuha, Sorogan Kitab Kuning, Sholawat, Musyawaroh Kubro, Bahtsul Masa-il, dan masih banyak lagi. Sedangkan PP. HM Putra Al-Mahrusiyyah, yang berdiri sejak 1 Agustus 1988 M./ 10 Syawal 1408 H. saat ini dipimpin Saifulloh Shofa dan sekretaris Irfa’uddin, S. Pd.I. Pada awalnya, HM Putra All-Mahrusiyyah hanya memiliki 41 santri. namun dalam perkembangannya, jumlah santri meningkat menjadi kurang lebih 800 santri yang berasal dari berbagai daerah. Tahun 1992 (1 Muharom 1413H.) berdirilah Madrasah Diniyah (Madin0 di HM Putra Al-Mahrusiyyah berdasarkan SK.PP.HMP.No.23/SK/PP HMP/VII/1992. Pendidikan yang dikembangkan memiliki beberapa jenjang : I’dadiyyah 2 tahun, Tsanawiyyah 3 tahun, dan Aliyyah 3 tahun. Metode yang digunakan Madin yang tidak jauh beda dengan metode MHM, seperti Musyawarah, Muhafadloh, ataupun Lalaran. Madin PP. HM Putra Al-Mahrusiyyah digelar malam hari, karena pagi harinya para santri menuntut ilmu umum. Dan pada tahun 2004, madrasah tsanawiyyah Madinnya telah disamakan dengan tingkatan tsanawiyyah lembaga umum, dan ijazahnya telah disahkan bisa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di Negara lain, sepeti Yaman, Al Azhar, dan Negara lainnya. Selain itu, untuk menunjang para santrinya, PP. HM Putra Al-Mahrusiyyah memiliki beragam sarana dan prasarana, mulai puluhan lokal belajar, lapangan basket, voly sampai lapangan tenis, yang ditunjang juga dengan berbagai kegiatan ekstra kurikuler. Diantaranya : Manaqib, Sab’ul Munjiyat, dan Bela Diri (Pagar Nusa), Wushu, Taekwondo). Pondok Pesantren Murottilil Qur’an (PPMQ)
Berdirinya pondok pesantren unit Lirboyo yang satu ini,
tidak bisa dilepaskan dari Madrasah Murottilil Qur’an (MMQ) yang
dirintis oleh Al-Ustadz KH. Maftuh Basthul Birri. Madrasah ini berawal
sekitar tahun 1397 H./ 1977 M. yang kala itu berupa pengajian dengan
sistem sorogan yang diasuh langsung oleh KH. Maftuh Basthul Birri.
Karena semakin banyaknya santri yang mengaji, maka sekitar tahun 1979/
1980 M. MMQ berdiri sebagai lembaga pendidikan Pondok Pesantren Lirboyo
yang khusus membidangi al-Quran.
Kepengrursan MMQ sendiri mulai dibentuk tahun 1990. Dan mengingat kuantitas siswa yang terus bertambah, MMQ merasa perlu untuk memilah siswanya dalam beberapa tingkatan. Maka dibentuklah jenjang pendidikan dengan tingkatan Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah, dan Aliyyah. Kemudian sekitar tahun 1997, dibentuklah sebuah jam’iyyah sebagai media ta’aruf antar santri MMQ dan ajang pendidikan yang bersifat ekstra kurikuler. Di antara kegiatannya adalah mengembangkan bakat santri dalam seni baca al-Quran. Setiap tahun, MMQ terus melakukan perkembangan. Dan di tahun 2011 ini, dalam MMQ terdapat lima tingkatan. Pertama, tingkat I’dadiyah. Waktunya setengah tahun, dengan materi; Buku Turutan A, Ba, Ta.. Jet Tempur, mempelajari dan membaca mulai Surat Al-A’la sampai Surat An-Nas. Kedua, tingkat Ibtidaiyah. Waktunya setengah tahun, dengan materi; Buku Persiapan Membaca Al-Qur’an, Buku Bonus Agung Yang Terlupakan, mempelajari dan menghafal mulai Surat Al-A’la-Surat An-Nas. Ketiga, tingkat Tsanawiyah. Waktunya setengah tahun, dengan materi; Buku Standar Tajwid (Fathul Manan), Manaqibul Auliya’il Khomsin, mempelajari dan menghafal mulai Surat Al-A’la-Surat An-Nas, Surat Yasin, Al-Waqi’ah dan Bacaan-bacaan Ghorib. Ketiga, tingkat Aliyah. Waktunya kurang lebih satu tahun setengah, dengan materi; Buku Mari Memakai Rosm Utsmany, sorogan al-Quran mulai Juz 1-Juz 30 dan menghafal Qishoris suwar. Sedangkan tingkatan keempat adalah Sab’atul Qiro-at. Waktunya kurang lebih dua bulan dan diperuntukkan bagi siswa yang sudah selesai setoran al-Quran 30 juz, telah sukses menghafalkan surat-surat pendek (antara lain; juz 30, Al Mulk, Al Waqi’ah, Ad Dukhon, Yasin, As Sajdah, Al Kahfi,) dan telah terdaftar sebagai peserta Takhtiman (Khotmil Quran). Pada tanggal 16 Juni 2002, MMQ meresmikan cabangnya di daerah Batam. Kala itu, meski dengan fasilitas minim (bahkan tempat mengajinya masih meminjam lahan yang terletak di kawasan liar belakang Dormitori Blok R kawasan industri Batamindo Muka Kuning), MMQ Batam telah diikuti kurang lebih 600 siswa dengan tingkatan yang sama dengan MMQ Pusat, yaitu tingkatan Jet Tempur, Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah, Aliyyah, Tahaffuzh, dan Qiro-ah Sab’ah. Cabang MMQ dengan Akte Notaris Yondri Darto, S.H. No. 196 tanggal 20 Juli 2004 ini, kini telah diikuti oleh lebih dari 4000 santri. Selain MMQ, di dalam Pondok Pesantren Murottill Qur’an (PP MQ) juga ada Majlis Qiro’ah Wat Tahfidz (MQT). Kegiatannya terbagi dua, harian dan mingguan. Harian meliputi: sholat Jamaah lima waktu, qiyamullail, mengaji setor hafalan (Ba’da Jamaah Sholat Subuh), murottalan bersama (aktivitas memperbaiki bacaan al-Quran, membenahi makhroj, dan menerapkan sifaatul huruf yang dilaksanakan setelah jamaah sholat Zhuhur), dan mengaji Takror Hafalan (sebuah kegiatan yang mngumpulkan antara guru dan santri guna mengulang, dan memahirkan hafalan al-Quran, disamping penyampaian materi kitab-kitab tajwid setelah jamaah sholat Asar). Sedangkan kegiatan mingguannya adalah: musyawarah kitab-kitab tajwid (Kamis sore), Jam’iyyah Maulidiyyah (kegiatan yang di dalamnya juga berisikan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jailani, latihan khitobah, dan praktek ubudiyyah, digelar malam Jumat), serta semaan al-Quran (hari Jum’at selepas jamaah sholat Subuh). MQT juga membagi tingkatan-tingkatan anggotanya. Tingkat Marhalah I’dadiyyah (waktunya setengah tahun, dengan materi; hafalan surat-surat penting dan buku Persiapan Membaca Al Qur-an), Tingkat Marhalah Ula, (waktunya satu tahun, dengan materi; hafalan juz 1-10 dan buku Standar Tajwid), Tingkat Marhalah Tsaniyyah, (waktunya satu tahun, dengan materi; hafalan juz 11-20 dan buku Tajwid Jazariyyah), Tingkat Marhalah Tsalitsah, (selama satu tahun, dengan materi; hafaln juz 21- 30 dan buku Tajwid Jazariyyah), dan Tingkat Sab’atul Qiro-at ( (ditempuh kurang lebih tiga tahun dan diperuntukkan bagi santri yang telah mengkhatamkan al-Quran dihadapan KH. Maftuh Basthul Birri). PP. MQ kian hari makin berkembang. Saat ini, PP. MQ yang diketuai Agus Khothibul Umam dan Imam Hasan Asy’ari Sebagai sekretarisnya, untuk MMQ diikuti siswa sebanyak 1467 dan MQT sejumlah 78 santri. Untuk menampung para santrinya, tahun 2005 dibangunlah bangunan baru di Dusun Sidomulyo Desa Klodran Kec. Semen yang berjarak kurang lebih 3 km dari PP. Lirboyo yang saat ini dihuni oleh 127 santri, 36 diantaranya adalah santri putri. Dan meskipun PP. MQ adalah pesantren yang fokus pada pengkajian al-Quran, di dalamnya juga diajarkan ilmu tauhid, fikih, akhlak, hadis, nahwu dan shorof, yang digelar setiap hari mulai pukul 08.00 WIs. Pondok Pesantren HM ANTARA
Pendirian pondok pesantren ini berawal dari seringnya
KH. M. Anwar Manshur (Pengasuh PP. Putri Hidayatul Mubtadi-aat) beserta
istri, menerima keluhan dari masyarakat yang khawatir akan perkembangan
dan masa depan anak-anaknya. Karena mereka menganggap, lingkungan
pergaulan saat ini cenderung mengarah pada perilaku-perilaku yang tidak
sesuai. Setelah mengadakan musyawaroh keluarga, maka beliau menunjuk
putra dan menantu beliau, KH. Atho’illah Sholahuddin dan Ny. Hj. Amaliah
Mukmilah untuk menampung para santri yang notabenya masih anak-anak.
Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan menginstruksikan kepada seluruh ketua HP (Himpunan Pelajar) guna mengumpulkan para santri yang masih di bawah umur. Dan pada tanggal 19 Mei 1996 M. / 01 Muharram 1417 H. beliau mendirikan PP. HM. Antara dengan kondisi yang masih sangat sederhana, baik fisik maupun aktifitas kegiatannya. Nama HM. ANTARA sendiri selain merupakan singkatan dari Hidayatul Mubtadi-ien Anak Tahap Remaja, juga dikarenakan posisinya berada di antara 2 pondok HM, yaitu PP. Haji Mahrus (HM) dan PP. HM. Putra. Kala itu, santri yang menetap sekitar 18 orang. Diantaranya adalah Martha Aly (asal Bekasi), Suherman (asal Jakarta), Bahroni (asal Pasuruan), dan Rusydiyansah (asal Kalimantan). Untuk membantu membimbing para santri, beliau mempercayakan kepada Mujahid Kholili (asal Jogjakarta), Rifa’I Atho’ (asal Brebes), Abdurrouf Qosasih (asal Jakarta), dan Daud Hendi Isma’il (asal Bekasi). Sesuai dengan nama dan tujuan awal pembentukannya, pondok pesantren ini lebih ditekankan pada pembinaan santri yang masih anak-anak dan menjelang remaja. Dan lambat laun, PP. HM. Antara mengalami banyak perkembangan, baik secara fisik maupun aktifitas kegiatan yang diselenggarakan. Saat ini program kegiatan PP. HM Antara diantaranya: sekolah diniyah (bergabung dengan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien), wajib sholat berjama’ah, istighotsah (tiap malam Senin dan Jum’at), pengajian al-Quran, sorogan kitab kuning, pengajian kitab-kitab salaf, jam wajib belajar, dan kegiatan keilmuan lainnya. Selain itu, para santri juga mengikuti berbagai kegiatan ekstra kurikuler, mulai dari qiro’ah, diba’, praktek ‘ubudiyyah dan lain sebagainya. Pesantren yang saat ini diketuai oleh Rowiyul Ahmad Afif dan M. Ubaidillah sebagai sekretarisnya, memiliki berbagai saran dan fasilitas untuk menunjang kegiatan para santri yang tahun ini berjumlah sebanyak 169 orang. |
0 komentar:
Posting Komentar