SELAMAT DATANG DI WEBSITE TAMATAN KHUSNUL KHOTIMAH 2012 KELAS IDADIYAH 2 LOKAL A

Kamis, 26 Juli 2012

Ayo Hancurkan Kemalasan

Malas merupakan salah satu penyakit psikis yang mengakibatkan seseorang menjadi enggan, bahkan tak mau beraktivitas sama sekali. Kalau malas sudah menjangkit pada diri seseorang, maka jangan harap kita akan memperoleh sesuatu dari orang tersebut. Jangankan kita yang di luar pribadi orang yang malas tadi, dia sendiri pun tidak akan mendapatkan apapun. Keadaan ini menjadikannya stagnan, berhenti, kosong melompong, vakum, dan tak memiliki eksistensi diri sama sekali. Runyam, bukan?
Keadaan malas seperti itu memang tidak dapat ditoleransi. Jika malas diberi angin, maka sifat negatif itu kian ganas menggerogoti aktivitas. Kalau aktivitas tergerogoti, maka produktivitas pun pasti berkurang. Jika produktivitas berkurang, dampaknya pada prestasi yang menurun. Semua itu akhirnya bermuara pada peran pemalas dalam kehidupannya yang makin mengecil, bahkan nihil. Dengan perkataan lain, pemalas tidak pernah dianggap di tengah-tengah masyarakat walaupun sebenarnya dia hidup di dalamnya. Siapa yang sanggup hidup tak bermakna dan terasing seperti itu?

Cuti
Situasi malas yang sudah tidak mungkin lagi ditoleransi memang perlu diatasi. Kalau tidak diselesaikan, maka berdampak lebih besar. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan memanfaatkan hak cuti. Dengan hak ini, seorang pekerja akan memperoleh libur kerja, tapi tetap digaji oleh perusahaan tempat dia bekerja. Biasanya, setahun jumlah maksimal cuti adalah 12 hari kerja.
Dalam masa cuti itu, pekerja dapat mengistirahatkan jasmani maupun rohaninya. Dia tidak lagi dituntut bekerja keras sebagaimana hari-hari di masa kerjanya. Dia bebas menggunakan waktu cuti itu untuk menghibur diri. Dia tidak boleh memikirkan kerja. Perusahaan pun tidak boleh mengganggu dalam masa cuti itu. Pendek kata, cuti merupakan saat yang tepat untuk karyawan menyantaikan diri.
Dengan cara cuti tersebut, seseorang benar-benar bisa mengendurkan urat syarafnya yang tegang akibat himpitan dan tekanan kerja. Dia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri. Memenuhi semua keinginan dirinya, tanpa ada paksaan atau tekanan lagi. Dia sungguh-gungguh harus rileks selama masa cuti itu. Jika kegiatan cuti itu dijalankan dengan baik, maka keadaan setelahnya akan membuat seseorang menjadi pekerja yang benar-benar fresh alias segar bugar lahir dan batin. Kalau keadaannya sudah kembali normal seperti itu, maka tugas yang akan datang bisa dijalankannya dengan baik dan sukses. Inilah salah satu keadaan yang menguntungkan kedua belah pihak, baik perusahaan maupun pekerja.
Jadi, tidak benar jika cuti itu disebut-sebut sebagai penyebab malasnya pekerja. Justru cuti merupakan alat yang ampuh untuk mengobati penyakit malas, khususnya yang sudah di luar batas ambang toleransi. Bukankah setelah cuti seseorang akan menjadi lebih sehat keadaannya dan bisa memaksimalkan dirinya untuk bekerja sebagaimana tuntutan dunia kerja.
Untuk mereka yang belum terlibat dalam dunia kerja, maka cuti boleh diganti izin. Misalnya, seorang santri izin pulang ke rumah barang beberapa hari untuk melepaskan kepenatannya selama belajar ilmu agama di pesantren. Seorang pelajar sekali-kali boleh izin beberapa hari pergi bersama anggota keluarganya menikmati masa cuti sang ayah atau sang ibunda tercinta. Hal-hal seperti itu akan sangat bermanfaat untuk menghadapi kesibukan belajar pada waktu berikutnya. Maka, izin tidak masuk sekolah ketika kepenatan pikiran sudah benar-benar suntuk merupakan kebutuhan mutlak bagi santri maupun pelajar.


Cuti bersama tidak bijak
Dengan konsep ini, maka kita bisa menilai bahwa sebenarnya kurang pas memberlakukan cuti bersama seperti pada saat ada libur hari nasional. Mengapa? Karena kebutuhan cuti setiap orang akan berbeda-beda sesuai dengan siklus biometrinya. Misalnya, kalangan umat Islam biometrinya tetap tinggi meski pada saat itu libur atau cuti bersama memperingati hari Natal hingga Tahun Baru. Libur semacam itu hanya cocok untuk kaum Nasrani yang memang pikirannya terkonsentrasi penuh pada perayaan hari Natal dan ini otomatis menurunkan biometrinya dalam menunaikan tugas.
Di pihak lain, umat Islam akan lebih bijaksana jika diberi cuti pada saat perayaan hari raya Idul Fitri karena memang pada saat itulah kebutuhannya untuk cuti meningkat. Waktu cuti dimanfaatkan untuk menjalankan kegiatan ritual di dalam Idul Fitri. Misalnya, bersilaturahmi ke sanak keluarga di kampung yang memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Keadaan seperti itu pasti menguras konsentrasi dalam bertugas. Maka, pada saat itulah biometri umat Islam bisa dikategorikan menurun. Jadi, sebaiknya mereka diberi hak cuti pada saat itu.
Kesimpulannya, kebijakan cuti bersama yang selama ini diterapkan oleh Pemerintah tidak tepat dan tidak bijaksana sama sekali. Karena, kebutuhan cuti itu sebenarnya berbeda-beda antara seseorang dengan yang lainnya. Selain itu, cuti harus diselaraskan dengan biometri seseorang sebagaimana telah diuraikan di atas. Harapan kita, Pemerintah sudi mengubah kebijakan itu agar menjadi benar-benar bijaksana.
Solusi malas
Karena malas itu sebagian besar merupakan gejala psikis, maka solusinya pun harus dimulai dari aspek kejiwaan itu. Artinya, penyakit malas harus dilawan oleh hati, jiwa, keinginan, dan kekuatan pikiran dalam diri seseorang. Kalau rasa malas sudah mulai menjangkit, maka segera berantas dengan sikap mental yang mencerminkan giat, rajin, aktif, dan sejenisnya yang merupakan kebalikan dari sifat malas.
Contoh konkritnya, bila kita malas membaca buku pelajaran, maka lawanlah dengan rasa ingin tahu yang kuat terhadap isi buku tersebut. Rasa ingin tahu yang besar akan membangkitkan diri untuk membaca dengan lahap halaman demi halaman dari buku pelajaran itu. Atau kita takut-takuti diri sendiri bahwa kalau tidak membaca buku, kita tidak akan paham isinya. Kalau tidak paham, berarti kita tidak akan bisa mengerjakan ulangan yang soalnya diambilkan oleh guru dari buku tersebut. Kalau ini yang terjadi, berarti pula kita mendapat nilai di bawah standar dan itu berarti tidak naik kelas! Nah, kita pasti takut, bukan?
Selain itu, malas juga bisa dilawan dengan rasa cinta. Artinya, kalau kita malas mengerjakan sesuatu, maka cobalah menumbuhkan rasa cinta terhadap sesuatu tersebut. Kita malas salat tahajud, misalnya, cobalah mencintainya dengan membaca buku-buku yang mengulas betapa dahsyat manfaat dan hikmah salat sunah di malam hari yang selalu dikerjakan Nabi Muhammad saw. itu. Nabi saja rutin mengerjakannya, kita sebagai umatnya kok malas. Apa pantas? Dengan cara seperti itu, akhirnya kita mau mengerjakannya dan merasakan nikmatnya qiyamul lail itu. Kita pun akhirnya benar-benar jatuh cinta terhadap ibadah malam yang mulia itu.
Nah, buat apa kita malas? Malas hanya membawa kita pada rendah kualitas. Rendah kualitas identik dengan tidak mampu menghasilkan dan meningkatkan produktivitas. Kalau kita malas, rendah kualitas, dan berakibat minim berproduktivitas, maka apa kata dunia?!

0 komentar:

Posting Komentar