Malas merupakan salah satu penyakit psikis yang mengakibatkan
seseorang menjadi enggan, bahkan tak mau beraktivitas sama sekali. Kalau
malas sudah menjangkit pada diri seseorang, maka jangan harap kita akan
memperoleh sesuatu dari orang tersebut. Jangankan kita yang di luar
pribadi orang yang malas tadi, dia sendiri pun tidak akan mendapatkan
apapun. Keadaan ini menjadikannya stagnan, berhenti, kosong melompong,
vakum, dan tak memiliki eksistensi diri sama sekali. Runyam, bukan?
Keadaan malas seperti itu memang tidak dapat ditoleransi. Jika malas
diberi angin, maka sifat negatif itu kian ganas menggerogoti aktivitas.
Kalau aktivitas tergerogoti, maka produktivitas pun pasti berkurang.
Jika produktivitas berkurang, dampaknya pada prestasi yang menurun.
Semua itu akhirnya bermuara pada peran pemalas dalam kehidupannya yang
makin mengecil, bahkan nihil. Dengan perkataan lain, pemalas tidak
pernah dianggap di tengah-tengah masyarakat walaupun sebenarnya dia
hidup di dalamnya. Siapa yang sanggup hidup tak bermakna dan terasing
seperti itu?
Cuti
Situasi malas yang sudah tidak
mungkin lagi ditoleransi memang perlu diatasi. Kalau tidak diselesaikan,
maka berdampak lebih besar. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan
memanfaatkan hak cuti. Dengan hak ini, seorang pekerja akan memperoleh
libur kerja, tapi tetap digaji oleh perusahaan tempat dia bekerja.
Biasanya, setahun jumlah maksimal cuti adalah 12 hari kerja.
Dalam masa cuti itu, pekerja dapat mengistirahatkan jasmani maupun
rohaninya. Dia tidak lagi dituntut bekerja keras sebagaimana hari-hari
di masa kerjanya. Dia bebas menggunakan waktu cuti itu untuk menghibur
diri. Dia tidak boleh memikirkan kerja. Perusahaan pun tidak boleh
mengganggu dalam masa cuti itu. Pendek kata, cuti merupakan saat yang
tepat untuk karyawan menyantaikan diri.
Dengan cara cuti tersebut, seseorang benar-benar bisa mengendurkan
urat syarafnya yang tegang akibat himpitan dan tekanan kerja. Dia bisa
benar-benar menjadi dirinya sendiri. Memenuhi semua keinginan dirinya,
tanpa ada paksaan atau tekanan lagi. Dia sungguh-gungguh harus rileks
selama masa cuti itu. Jika kegiatan cuti itu dijalankan dengan baik,
maka keadaan setelahnya akan membuat seseorang menjadi pekerja yang
benar-benar fresh alias segar bugar lahir dan batin. Kalau keadaannya
sudah kembali normal seperti itu, maka tugas yang akan datang bisa
dijalankannya dengan baik dan sukses. Inilah salah satu keadaan yang
menguntungkan kedua belah pihak, baik perusahaan maupun pekerja.
Jadi, tidak benar jika cuti itu disebut-sebut sebagai penyebab
malasnya pekerja. Justru cuti merupakan alat yang ampuh untuk mengobati
penyakit malas, khususnya yang sudah di luar batas ambang toleransi.
Bukankah setelah cuti seseorang akan menjadi lebih sehat keadaannya dan
bisa memaksimalkan dirinya untuk bekerja sebagaimana tuntutan dunia
kerja.
Untuk mereka yang belum terlibat dalam dunia kerja, maka cuti boleh
diganti izin. Misalnya, seorang santri izin pulang ke rumah barang
beberapa hari untuk melepaskan kepenatannya selama belajar ilmu agama di
pesantren. Seorang pelajar sekali-kali boleh izin beberapa hari pergi
bersama anggota keluarganya menikmati masa cuti sang ayah atau sang
ibunda tercinta. Hal-hal seperti itu akan sangat bermanfaat untuk
menghadapi kesibukan belajar pada waktu berikutnya. Maka, izin tidak
masuk sekolah ketika kepenatan pikiran sudah benar-benar suntuk
merupakan kebutuhan mutlak bagi santri maupun pelajar.
Cuti bersama tidak bijak
Dengan konsep ini, maka kita bisa
menilai bahwa sebenarnya kurang pas memberlakukan cuti bersama seperti
pada saat ada libur hari nasional. Mengapa? Karena kebutuhan cuti setiap
orang akan berbeda-beda sesuai dengan siklus biometrinya. Misalnya,
kalangan umat Islam biometrinya tetap tinggi meski pada saat itu libur
atau cuti bersama memperingati hari Natal hingga Tahun Baru. Libur
semacam itu hanya cocok untuk kaum Nasrani yang memang pikirannya
terkonsentrasi penuh pada perayaan hari Natal dan ini otomatis
menurunkan biometrinya dalam menunaikan tugas.
Di pihak lain, umat Islam akan lebih bijaksana jika diberi cuti pada
saat perayaan hari raya Idul Fitri karena memang pada saat itulah
kebutuhannya untuk cuti meningkat. Waktu cuti dimanfaatkan untuk
menjalankan kegiatan ritual di dalam Idul Fitri. Misalnya,
bersilaturahmi ke sanak keluarga di kampung yang memang membutuhkan
waktu yang cukup lama. Keadaan seperti itu pasti menguras konsentrasi
dalam bertugas. Maka, pada saat itulah biometri umat Islam bisa
dikategorikan menurun. Jadi, sebaiknya mereka diberi hak cuti pada saat
itu.
Kesimpulannya, kebijakan cuti bersama yang selama ini diterapkan oleh
Pemerintah tidak tepat dan tidak bijaksana sama sekali. Karena,
kebutuhan cuti itu sebenarnya berbeda-beda antara seseorang dengan yang
lainnya. Selain itu, cuti harus diselaraskan dengan biometri seseorang
sebagaimana telah diuraikan di atas. Harapan kita, Pemerintah sudi
mengubah kebijakan itu agar menjadi benar-benar bijaksana.
Solusi malas
Karena malas itu sebagian besar merupakan
gejala psikis, maka solusinya pun harus dimulai dari aspek kejiwaan itu.
Artinya, penyakit malas harus dilawan oleh hati, jiwa, keinginan, dan
kekuatan pikiran dalam diri seseorang. Kalau rasa malas sudah mulai
menjangkit, maka segera berantas dengan sikap mental yang mencerminkan
giat, rajin, aktif, dan sejenisnya yang merupakan kebalikan dari sifat
malas.
Contoh konkritnya, bila kita malas membaca buku pelajaran, maka
lawanlah dengan rasa ingin tahu yang kuat terhadap isi buku tersebut.
Rasa ingin tahu yang besar akan membangkitkan diri untuk membaca dengan
lahap halaman demi halaman dari buku pelajaran itu. Atau kita
takut-takuti diri sendiri bahwa kalau tidak membaca buku, kita tidak
akan paham isinya. Kalau tidak paham, berarti kita tidak akan bisa
mengerjakan ulangan yang soalnya diambilkan oleh guru dari buku
tersebut. Kalau ini yang terjadi, berarti pula kita mendapat nilai di
bawah standar dan itu berarti tidak naik kelas! Nah, kita pasti takut,
bukan?
Selain itu, malas juga bisa dilawan dengan rasa cinta. Artinya, kalau
kita malas mengerjakan sesuatu, maka cobalah menumbuhkan rasa cinta
terhadap sesuatu tersebut. Kita malas salat tahajud, misalnya, cobalah
mencintainya dengan membaca buku-buku yang mengulas betapa dahsyat
manfaat dan hikmah salat sunah di malam hari yang selalu dikerjakan Nabi
Muhammad saw. itu. Nabi saja rutin mengerjakannya, kita sebagai umatnya
kok malas. Apa pantas? Dengan cara seperti itu, akhirnya kita mau
mengerjakannya dan merasakan nikmatnya qiyamul lail itu. Kita pun
akhirnya benar-benar jatuh cinta terhadap ibadah malam yang mulia itu.
Nah, buat apa kita malas? Malas hanya membawa kita pada rendah
kualitas. Rendah kualitas identik dengan tidak mampu menghasilkan dan
meningkatkan produktivitas. Kalau kita malas, rendah kualitas, dan
berakibat minim berproduktivitas, maka apa kata dunia?!
MENU
HOT SELEBRITY
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
naruto
ARTIKEL
Kamis, 26 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar