SELAMAT DATANG DI WEBSITE TAMATAN KHUSNUL KHOTIMAH 2012 KELAS IDADIYAH 2 LOKAL A

SEJARAH MHM

Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien

Sistem pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo diawal berdirinya menggunakan metode salafi, sebuah metode dengan format pengajian weton, sorogan (santri membaca dan mengulas pelajaran langsung dihadapan kiai) dan bandongan (santri menyimak dan memaknai kitab sesuai dengan makna yang dibacakan oleh kiai). Seiring dengan perkembangan PP. Lirboyo dan grafik statistik santri yang terus meningkat setiap tahunnya, sementara metode belajar pada saat itu masih kurang maksimal dalam mengakomodir santri dan kompleksitas materi yang harus dipelajari, adalah sebuah keharusan bagi Lirboyo untuk menerapkan sistem klasikal.
Atas inspirasi Jamhari (santri senior yang sepulangnya dari Makkah berganti nama KH. Abdul Wahab), bersama Syamsi dari Gurah Kediri, pada tahun 1925 merintis sistem pendidikan klasikal. Dan atas restu KH. Abdul Karim dengan dawuh, “Santri kang durung biso moco lan nulis kudu sekolah” (Santri yang belum bisa membaca dan menulis harus sekolah), maka berdirilah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM). Metode ini hingga sekarang masih dipertahankan dan terus mengadopsi metode baru yang lebih efektif dan inovatif sesuai perkembangan zaman.
MHM Masa Awal
Berdirinya sebuah madrasah disebagian besar pesantren pada masa itu merupakan hal yang benar-benar baru, begitu juga PP. Lirboyo. Perjalanan MHM yang dimulai pada tahun 1925 sampai masa sebelum kemerdekaan terus mengalami pasang surut, seperti ketika harus vakum selama dua tahun (1931-1932).
Berkat usaha KH. Abdulloh Jauhari (ayahanda Gus Makshum) bersama Kiai Kholil (Ketua PP. Lirboyo saat itu) dari Melikan, Kediri, yang mengajak Kiai Faqih Asy’ari (alumni PP. Tebuireng yang tahu banyak tentang sistem pendidikan klasikal) dari Sumbersari, Pare, Kediri, maka MHM berdiri kembali pada bulan Muharram 1353 H./ 1933 M. Waktu itu, untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, 44 orang siswa yang tedaftar di MHM setiap bulannya dikenai sumbangan sebesar 5 Sen. Sumbangan ini dikoordinir langsung oleh Agus Abdul Qodir dari Banyakan, Kediri.
Semenjak itu, MHM menggunakan sistem klasikal (sekolah) dengan dua tingkatan, tingkatan Sifir (kelas persiapan) selama 3 tahun dan tingkatan Ibtda’iyah selama 5 tahun. Waktu belajarnya malam hari, mulai puku 19.00-23.00 Wis dengan materi pelajaran berupa ilmu nahwu sharaf, balaghah, dan materi pendukung lainnya seperti tulis menulis, ilmu tajwid, dan al-Quran.
Perkembangan MHM sejak kembali aktif sangat signifikan. Grafik siswa terus meningkat meski tidak terlalu pesat, dari 44 siswa menjadi 60 dan meningkat lagi menjadi 70 siswa. Di tahun 1936 M. mulai ada siswa yang berhasil menyelesaikan pelajarannya walaupun hanya 18 siswa. Keadaan ini sangat dimaklumi karena pada masa penjajahan Belanda semua pendidikan diawasi oleh penjajah secara ketat, apalagi pendidikan di pondok pesantren. Terlebih setelah penjajah Belanda digantikan oleh Jepang, keadaan ekonomi Indonesia semakin tak menentu. Hal ini berdampak terhadap perkembangan MHM. Waktu sekolah yang tadinya malam diganti siang, karena waktu itu bahan bakar untuk penerangan sangat sulit didapatkan, dan kalaupun ada harganya teramat mahal. Jumlah siswa yang pada masa penjajah Belanda mencapai 350 siswa, menjadi hanya 150 saja pada masa penjajah Jepang. Setelah Jepang hengkang, kondisi itu tetap berlangsung, bahkan pernah hanya 5 siswa yang bisa tamat belajar di MHM.
MHM Masa Perkembangan
Pada tahun 1947 M. MHM merombak sistem pendidikannya. Untuk tingkat Sifir diganti dengan tingkat Ibtidaiyah (4 tahun) dan tingkat Ibtidaiyah menjadi tingkat Tsanawiyah (4 tahun). Di tahun ini pula timbul gagasan dari KH. Zamroji (yang pada waktu itu menjadi guru kelas terakhir tingkat Tsanawiyah) untuk mendirikan tingkatan Mu’allimin (setingkat Aliyah), KH. Abdul Karim menyetujui gagasan tersebut. Sedangkan materi yang diajarkan pada tingkatan Mu’allimin tersebut adalah Fathul Wahab, Uqudul Juman, Jam’ul Jawami’, dan lain-lain.
Dirasa belum sempurna, tahun 1949 M., KH. Abdul Lathif asal Kolak, Ngadiluwih, Kediri, yang pada saat itu menjadi Pimpinan MHM mengusulkan agar meteri yang diajarkan di kelas ditetapkan sebagai kurikulum yang baku dalam pembelajaran di MHM. Tahun 1950 M., saat MHM dinahkodai oleh Ali bin Abu Bakar asal Bandar Kidul, Kediri, dan dibantu Yasin asal Ngronggot, Nganjuk, mengusulkan untuk tingkat Ibtidaiyah menjadi 5 tahun dan tingkat Tsanawiyah menjadi 3 tahun serta materi pelajaran Tsanawiyah ditambah fan ilmu Tafsir, Hadis, Falak, ‘Arudl. Semua usulan itu disepakati dan diberlakukan di MHM.
Sebagai respon pendidikan luar pondok pesantren, pada tahun 1977-1978 M. Sidang Panitia Kecil yang dipimpin oleh KH. Ilham Nadzir yang dihadiri oleh PP. Lirboyo menetapkan; jenjang tingkat Ibtidaiyah menjadi 6 tahun dan untuk tingkat Mu’allimin dirubah menjadi tingkat Aliyah. Maka sejak itu, jenjang pendidikan Madrasah yang ada dibawah naungan Ponpes Lirboyo adalah tingkat Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), dan Aliyah (3 tahun). Sedangkan untuk materi pelajaran tingkat Aliyah, Sidang Panitia Kecil MHM yang dipimpin oleh KH. Ilham Nadzir pada tahun 1983 M., menetapkan kurikulum untuk tingkat Aliyah adalah Jam’ul Jawami’, al-Jami’us Shoghir, al-Mahalli, ‘Uqudul Juman, dan lain-lain.
Karena agenda pendidikan di MHM menggunakan kalender Hijriyah, maka waktu penerimaan siswa baru tidak sama dengan pendidikan nasional yang menggunakan tahun Masehi. Untuk mengantisipasi siswa yang daftar terlambat karena perbedaan kalender tersebut, maka tanggal 25 Juli 1989 MHM membuka tingkatan I’dadiyah/ Sekolah Persiapan (SP).
Tingkatan SP ini terdiri dari dua kelas, SP I dan II. SP I (dengan materi pelajaran ‘Awamil Jurjani, Tanwirul Hija dan lainnya) dilaksanakan pagi hari dan diproyeksikan untuk siswa yang akan masuk di kelas II atau III Ibtidaiyah. Sedangkan SP II (dengan materi pelajaran al-Ajurumiyah, Qa’idah Sharfiyah, al-Amtsilatut Tashrifiyah dan lainnya) dilaksanakan pagi hari atau malam hari dengan mempertimbangkan kelas dan gedung yang tersedia. SP II ini diproyeksikan untuk siswa yang akan masuk di kelas IV Ibtidaiyah. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, di kelas ini banyak siswa yang karena pernah belajar di pesantren lain dan ingin meneruskan pendidikannya di MHM, akhirnya masuk ke kelas I Tsanawiyah atau Aliyah melalui tes.
Sedangkan materi ujian yang harus dijalani siswa yang ingin masuk kelas I Tsanawiyah diantaranya adalah: Fikih (membaca kitab Fathul Qorib), ujian bab shalat dan mufassholat mulai surat an-Nas sampai surat as-Syamsi, serta hafalan nadzom Alfiyah ibnu Malik 350 bait. Untuk yang ingin masuk tingkat I Aliyah harus menjalani tes dengan materi antara lain: Fikih (membaca kitab Fathul Mu’in), ujian bab shalat dan mufassholat mulai surat an-Nas sampai surat al-‘Ala, serta hafalan nadzom ‘Uqudul Juman sebanyak 350 bait.
Untuk menunjang pelajaran di kelas, MHM mengadakan kegiatan ekstrakurikuler berupa Muhafazhoh mingguan, tamrin (ulangan) tiap malam Senin, musyawarah kitab Fathul Mu’in, Fathul Qorib, al-Mahalli, koreksian kitab, muhafazhoh Akhirussanah dan kegiatan-kegiatan lainnya yang kesemuanya itu demi kelancaran proses belajar mengajar dan meningkatkan kwalitas siswa.
Tampuk kepemimpinan MHM yang di tahun 2011 ini dipegang oleh KH. A. Habibulloh Zaini, memiliki jumlah siswa sebanyak 5.749. Dan sebagai lembaga pendidikan yang besar, sudah selayaknya MHM memiliki gedung-gedung yang sangat diperlukan sebagai fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar.
Gedung al-Ikhwan
Gedung tertua ini dibangun tahun 1956 M. dibawah pengawasan langsung KH. Marzuqi Dahlan dan memiliki dua lantai. Lantai dasar digunakan sebagai asrama santri (Blok ’N’) dan lantai dua digunakan sebagai ruang belajar mengajar. Tahun 2001, lantai dua ini beralih fungsi menjadi kantor pusat Lajnah Bahtsul Masa-il (LBM) Pondok Pesantren Lirboyo.
Gedung al-Ihsan
Dibangun secara bertahap mulai tahun 1972-1977 M. Memiliki tiga lantai; lantai dasar dan lantai dua memiliki enam ruang kelas, sedangkan lantai tiga merupakan auditorium (lantai dua dan tiga gedung ini menggunakan kayu jati). Namun seiring perkembangan jumlah santri yang kian bertambah, lantai tiga ini digunakan sebagai ruang kelas. Gedung yang merupakan salah satu “cagar budaya” Lirboyo ini merupakan saksi bisu bagi setiap tamatan MHM.
Gedung al-Barokah
Dibangun tahun 1986 M. Kala itu, gedung ini digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar santri putra. Termasuk angkatan purna 2011. Kami menempati gedung ini saat duduk dibangku kelas V Ibtidaiyah. Namun terhitung sejak tahun 2005 M., gedung dengan tiga lantai ini menjadi bagian dari PP. Putri Hidayatul Mubtadi-aat.
Gedung al-Ittihad I & II
Kedua Gedung ini memiliki tiga lantai. Gedung al-Ittihad I dibangun tahun 1987 M. dengan kapasitas 28 ruangan; lantai satu dan dua digunakan untuk 4 kantor, 1 lab komputer, dan 17 ruangan untuk asrama santri. Untuk lantai tiga yang terdiri 6 ruang, digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar. Sedangkan al-Itihad II dibangun tahun 1992 M. dengan kapasitas 12 ruang kelas dan diresmikan oleh Menteri Agama RI, Prof. DR. Quraisy Shihab tanggal 08 Mei 1998.
Gedung al-Ikhlas
Menghadap ke timur, gedung tiga lantai ini dibangun tahun 1993 M. dengan kapasitas 18 ruangan kelas. Selain untuk tempat belajar mengajar, gedung ini juga digunakan untuk kegiatan jam’iyyah Himpunan Pelajar dari berbagai daerah.
Gedung al-Muhafazahoh
Gedung yang memanjang dari utara ke selatan dengan enam buah pintu ini dibangun tahun 1994 M. tanpa sekat. Awalnya gedung ini khusus digunakan sebagai tempat kegiatan lalaran (menghafal nazhom). Gedung ini pula yang saat itu menjadi pusat kegiatan santri, seperti Jam’iyyah atau acara-acara seminar, Rapat Besar M3HM. Tahun 2002 M. gedung ini disekat menjadi 6 ruang. Selain digunakan sebagai tempat lalaran, gedung yang berada di tengah-tengah asrama santri ini juga digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar (kelas SP II).
Gedung an-Nahdloh
Gedung ini dibangun tahun 1998 M. dengan jumlah 29 lokal. Lantai bawah paling utara digunakan untuk kantor M3HM, 7 lokal digunakan untuk aula, lantai II sebelah utara sebagai kantor pusat kelas II dan III Aliyah, sedangkan kegiatan belajar mengajar MHM menempati 21 lokal.
Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien
Majelis Musyawarah Madrasah hidayatul Mubtadi-ien (M3HM) adalah sebuah lembaga dibawah naungan MHM, yang diberi amanat khususnya untuk menangani musyawarah (diskusi) siswa MHM. Hal ini sangat diperlukan untuk menunjang pemahaman, pendalaman dan pengembangan materi pelajaran di MHM, sehingga keberadaan M3HM sangat diperlukan. Dalam perkembangannya M3HM kemudian juga menangani beberapa pelajaran ekstrakurikuler dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, untuk ikut serta mengembangkan daya kreatifitas siswa. Namun, mengingat arti pentingnya musyawarah dalam meningkatkan kwalitas sumber daya manusia, sebagian aktifitas M3HM dihilangkan agar lebih memfokuskan tugas untuk menangani musyawarah.
Keberadaan M3HM sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1947 M. oleh KH. Zamroji dari Kencong, Pare, Kediri. Pada awalnya, peserta yang mengikuti musyawarah tak kurang dari 90 orang. Kemudian MHM mewajibkan siswanya yang berdomisili di pondok untuk mengikutinya, dan ternyata bisa berjalan lancar sampai sekarang.
Tahun 1955 M. M3HM berdiri dengan nama PPHM (Persatuan Pelajar Hidayatul Mubtadi-ien) sebagai respon dari perkembangan IPNU di tanah air. Tepatnya pada tahun 1955, Tholhah Mansur (mahasiswa UGM) dan Bahtiar Sutiono (pelajar ST Nganjuk) utusan dari pengurus IPNU pusat, sowan kepada KH. Mahrus Aly agar di Lirboyo didirikan IPNU. Namun, karena keberadaan IPNU sendiri belum diketahui oleh pesantren dan yang sowan KH. Mahrus Aly adalah delegasi non pesantren, maka MHM mendirikan organisasi pelajar sendiri. Akhirnya, berdirilah PPHM yang hampir sama dengan OSIS dan tidak berafiliasi kepada IPNU. Sementara yang ditunjuk sebagai ketua pada waktu itu adalah Agus Ali bin Abu Bakar, putra dari KH. Abu Bakar dari Bandar Kidul, Kediri.
Pada awal berdirinya, PPHM belum mempunyai arah dan tugas yang pasti. Sementara itu musyawarah yang telah berjalan saat itu belum ada wadah yang menanganinya. Akhirnya, pengelolaanya diberikan kepada PPHM. Pada tahun 1958 M. organisasi ini mengubah namanya menjadi Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (M3HM) yang kala itu diketuai oleh Abdul Ghoni Ali dari Pasuruan. Mulai tahun ini pula kepengurusan sudah tidak lagi merangkap mengajar di MHM, namun dipegang oleh siswa anggota musyawarah dengan bimbingan pengajar yang terkumpul dalam dalam Dewan Pengurus M3HM. Dalam perkembangan selanjutnya, M3HM membawahi Pengurus Pusat Kelas (PPK) dan Pengurus Lokal Kelas (PLK).
Tahun 1975 M. M3HM menyusun AD/ART dan hingga sekarang susunan kepengurusan yang dibentuk pada awal berdirinya tetap dipertahankan, hanya saja ditambahkan seksi-seksi yang diperlukan sesuai kebutuhan.
Kegiatan M3HM selain mengkoordinir musyawarah dan muhafazhah, juga bertugas memfasilitasi santri membuat Kartu Tanda Keluarga (KTK) PP. Lirboyo. Selain itu, M3HM juga mengkoordinir kegiatan ekstrakurikuler yang berupa jamiyah nahdliyyah dan penataran keroisan. Dalam seminar jam’iyah nahdliyyah M3HM mendatangkan tutor-tutor handal dan berpengalaman. Tema yang diangkat pun bukan hanya khusus tema-tema keagamaan, namun juga masalah sosial kemasyarakatan, diantaranya manajemen organisasi, leadership, politik, ke-NU-an, dan lain-lain. Fungsi pokok kegiatan ini adalah sebagai media pembekalan bagi santri agar kelak lebih siap ketika bermasyarakat. Kegiatan ini sempat ditiadakan tahun 2005 karena berbagai pertimbangan, kemudian atas intruksi dari KH. Ahmad Idris Marzuqi kegiatan ini diagendakan kembali satu kali dalam setahun.
Sedangkan kegiatan penataran keroisan difungsikan untuk memberikan bekal dan lebih memantapkan siswa/ santri dalam bermusyawarah. Kegiatan ekstra ini diikuti oleh delegasi dari tiap-tiap lokal. Penataran Keroisan ini di bagi menjadi dua tahap. Tahap pertama merupakan pembekalan bagi siswa kelas II – V Ibtidaiyyah, dengan materi dititik beratkan pada pengenalan musyawarah ala Lirboyo. Tahap kedua adalah pembekalan musyawarah menuju Bahtsul Masa-il. Pada tahap ini yang menjadi peserta penataran adalah perwakilan siswa kelas VI – III Tsanawiyyah. Selain kegiatan-kegiatan ini, M3HM juga memberi
Sekilas Majalah Dinding Lirboyo
Memasuki era 80an, makin banyak saja santri yang menimba ilmu di Lirboyo. Demi menjaga karakteristiknya sebagai pesantren salaf, Lirboyo terbilang menutup diri dari dunia luar. Itu dibuktikan pada tahun 1985, pihak pesantren gencar melarang santrinya membaca koran dan majalah. Dengan program itu, diharapkan para santri fokus melakukan kegiatan belajar.
Namun begitu, Lirboyo tetap memandang perlu menjaga hubungan baik dengan pihak luar. Supaya setelah para santri merampungkan studinya, mereka sudah mengenal dunia luar. Setidaknya mereka mengerti dengan medannya ketika telah kembali ke kampung halaman.
Berlandaskan hal itu, pada 17 Agustus 1985 pesantren Lirboyo ikut serta dalam Pameran Pembangunan Kodya Kediri. Dalam pameran yang bertempat di alun-alun Kediri, Lirboyo menampilkan berbagai macam karya. Termasuk membuat majalah dinding, meskipun waktu itu di dalam pondok sendiri belum ada. Baru seusai pameran, gagasan membuat majalah dinding muncul di benak para santri.
Adalah sosok Fadloli el Munir, santri asal Jakarta (Pengasuh Pondok Pesantren Ziyadatul Mubtadi-en, Cakung, Jakarta Timur, Sekaligus ketua Forum Betawi Rempug, wafat pada selasa, 29 Maret 2009), waktu itu menjabat Ketua Umum Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (M3HM), yang menggebu untuk merealisasikan gagasan pembentukan majalah dinding di Lirboyo.
Gagasan itu menimbulkan kontraversi dikalangan pimpinan Lirboyo, sulit sekali mencetuskan kata sepakat. Pendapat yang kontra menganggap naïf atas usulan itu. Namun Kang Fadloli tidak pernah menyerah. Ia tetap gigih memperjuangkan gagasannya. Dengan kecerdasan dan sifat kerasnya (begitulah informasi yang kami dapat), ia menjelaskan bahwa dengan majalah dinding santri Lirboyo justru diajak meningkatkan gairah belajar, disamping mengembangkan bakat tulis menulisnya.
Akhirnya perjuangan Kang Fadloli membuahkan hasil. Dengan dukungan Bapak Marwan Masyhudi, Mudier (kepala) Madrasah Lirboyo saat itu, gagasannya mendapat lampu hijau, walau secara resmi belum mendapat surat izin penerbitan.
Dan tepat pada 9 September 1985, Sidang Redaksi pertama majalah dinding digelar. Fadloli ditampuk sebagai Pimpinan Redaksi, dibantu Nur Badri, Ma’ruf Asrori (pemilik penerbitan Khalista, Surabaya), Bastari Alwi, Sahlan Aidi, Badrudin Ilham dan beberapa santri lainnya.
Di awal berdirinya HIDAYAH sederhana dan apa adanya. Naskah-naskah HIDAYAH hanya direkatkan dengan lem pada papan tanpa kaca. Sehingga, waktu itu pembaca dengan mudahnya mencorat coret naskah. Bahkan tidak jarang redaksi kehilangan foto yang dipampang.
Walaupun masih tampil apa adanya, periode 1987-1988 HIDAYAH masuk finalis ke 30 dalam Lomba Koran Dinding Nasional di Jakarta. Dan pada akhir periode ini, dengan pimpinan redaksi Imam Ghozali Aro (pernah menjadi wartawan harian Surya) untuk pertama kalinya HIDAYAH menerbitkan bundel.
HIDAYAH mengalami kemajuan dari segi tampilan pada periode 1988-1989. Naskah aman dari corat coret, karena periode ini papan HIDAYAH ditutupi kaca. HIDAYAH juga mencatat prestasi menjadi juara IV dan juara favorit dalam Lomba Koran Dinding se Jawa Timur di Surabaya yang diselenggarakan harian Jawa Pos, Majalah Nona dan Majalah Kartini.
HIDAYAH kembali berprestasi dalam Lomba Koran Dinding antar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) se Jawa Timur yang digelar di Surabaya. Dalam lomba yang diselenggarakan harian Jawa Pos dan Universitas Airlangga (Unair) ini, HIDAYAH menjadi juara III.
Memasuki era 90an, tidak ada lagi lomba-lomba Koran dinding Nasional maupun Propinsi. Paling tidak sampai tahun 1997 M. HIDAYAH terakhir kali menunjukkan kebolehannya pada Lomba Koran Dinding Nasional yang diselenggarakan majalah Kartini, Tempo dan PGRI (tanpa kepanjangan, hanya tertulis PGRI; sebagaimana tertera pada medali) tahun 1991 M. Waktu itu, HIDAYAH menjadi satu-satunya Koran dinding Jawa Timur yang meraih prestasi, HIDAYAH berhasil memboyong juara II.
Diusianya yang ke dua puluh lima, HIDAYAH memang minim dalam hal prestasi. Namun bukan berarti sepi dari perkembangan. Prestasi kurang karena memang beberapa tahun belakangan, jarang diadakan lomba koran dinding yang searah dengan HIDAYAH. Yang lebih mementingkan isi dengan tampilan seadanya. Tahun 2000-an, media-media yang dulu sering menjadi penyelenggara lomba koran dinding dengan penekanan kreatifitas tulisan, beralih menekankan pada tampilan. Misalnya Jawa Pos. Jika dulu, HIDAYAH bisa unjuk kebolehan didepan jurnalis-jurnalis senior, sekarang tidak lagi. Karena lombanya pada keunikan tampilan, bukan pada tulisan. Yang tentunya memakan biaya lebih. Namun demikian, di Lirboyo sendiri HIDAYAH tidak sepi dari perkembangan.
Kini, saat Lirboyo telah melewati seabad kelahirannya, HIDAYAH tampil dengan aneka ragam kreatifitas para santri. Di papan yang terbungkus karpet dengan penutup kaca, tiap dua minggu sekali, dua puluh dua naskah kreasi santri terpampang dengan corak yang beragam.
Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM P2L)
Lembaga yang pada Rabu, 9 Muharram 1432 H. / 15 Desember 2010, menggelar peletakan batu pertama gedung baru yang rencananya berlantai tiga ini, pada awal kelahirannya bernama Majelis Musyawarah Pondok Pesantren Lirboyo (MM P2L). Setelah namanya berganti menjadi LBM P2L, bertepatan dengan penutupan bahtsul masa-il yang bertempat di serambi masjid Lirboyo diakhir tahun 2001, KH. Ahmad Idris Marzuqi atas nama Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo (BPK P2L) mengeluarkan maklumat tentang status LBM P2L menjadi badan otonom yang mempunyai otoritas khusus dalam menentukan dan mengatur segala kebijakannya.
Tujuan pembentukan lembaga ini adalah karena memandang; Pertama, bahtsul masail bisa dijadikan sebagai mediator dalam rangka mensosialisasikan gagasan-gagasan baru pemahaman ajaran Islam kepada masyarakat.
Kedua, bahtsul masail dapat difungsikan sebagai ajang penempaan ketrampilan, kreatifitas dan kualitas intelektual santri di pesantren, pemupukan jiwa kritis dan inovatif terhadap berbagai disiplin ilmu-ilmu agama, khususnya fikih.
Ketiga, melalui bahtsul masail dapat dipersiapkan sejak dini kader-kader yang mumpuni dalam mengakomodir beragam perbedaan pemikiran yang berkembang di kalangan umat, untuk kemudian memberikan formulasi terbaik secara arif dan bijaksana.
Untuk merealisasikan tujuan besar tersebut, LBM P2L diantaranya membuat tiga program utama; Sorogan, Musyawarah dan Bahstul Masa`il.
Program sorogan dimaksudkan sebagai bentuk usaha untuk memberikan bimbingan dan pembinaan santri semenjak dini dalam penguasaan ilmu alat (Nahwu dan Shorof). Sorogan dilaksanakan tiga kali dalam seminggu dengan menggunakan standar kitab Sulam At-taufîq dan Fathul Qarib yang dibagi dalam tiga tingkatan; tingkat Ula, Wustho dan Ulya. Metodenya, pertama, siswa membaca materi kitab sesuai dengan tingkatannya dan disimak oleh pembimbing, kemudian pembimbing mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar Nahwu dan Shorof sesuai dengan standar kitab Nahwu dan Shorof yang diajarkan di kelasnya. Khusus untuk tingkat Ulya, terkadang pembimbing juga memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan penjelasan materi yang dibaca. Masing-masing tingkatan diselesaikan dalam waktu empat bulan, itupun kalau siswa lulus dalam ujian evaluasi kenaikan tingkatan.
Dalam lingkungan Pesantren Lirboyo, penggunaan istilah musyawarah dibedakan dengan istilah bahtsul masail. Secara substansi sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara kedua istilah tersebut, akan tetapi secara teknis keduanya mempunyai cakupan kajian sendiri-sendiri. Prgram musyawarah merupakan forum kajian terhadap ragam persoalan hukum yang dilakukan oleh para santri dengan standar kitab yang telah ditentukan, sementara bahtsul masail adalah forum kajian yang tidak terikat dengan standar kitab.
Musyawarah di Pesantren Lirboyo terbagi dalam dua tingkatan. Pertama, Musyawarah Fathul Qarib dan kedua Musyawarah Al-Mahalli. Pada mulanya musyawarah dibagi ke dalam tiga tingkatan, yakni Musyawarah Fathul Qarib, Musyawarah Fathul Mu’in, Musyawarah Muhadzab dan Musyawarah Fathul Wahhab, kemudian karena pertimbangan-pertimbangan praktis dirubah menjadi Musyawarah Fathul Qarib dan Musyawarah Al-Mahlli.
Pemberian nama Fathul Qarib atau Al-Mahalli tersebut dimaksudkan hanya untuk menandai bahwa kitab-kitab tersebut merupakan rujukan utama dalam masing-masing musyawarah. Hal ini bukan berarti bahwa peserta musyawarah pada masing-masing tingkatan dalam mengkaji persoalan hukum harus berkutat pada kedua kitab tersebut. Musyawirin diperbolehkan merujuk pada referensi di luar kitab rujukan utama. Dengan kata lain, pada tingkatan musyawarah Fathul Qarib misalnya, ketika musyawirin mengkaji berbagai persoalan hukum, maka sudah barang tentu mereka harus merujuk pada kitab Fathul Qarib. Namun demikian, mereka tetap saja diberikan kebebasan untuk melihat kitab-kitab lain, dengan catatan bahwa referensi-referensi yang dijadikan rujukan masih berada dalam satu level.
Musyawarah Fathul Qarib ini dilaksanakan setiap malam Kamis dan diikuti oleh peserta mulai kelas satu Tsanawiyah sampai kelas tiga Aliyah dimana setiap lokal diwajibkan mengangkat minimal lima siswa sebagai anggota tetap, dan Mutakhorrijîn (alumni) MHM.
Sistem dalam musyawarah ini adalah, musyawarah dipimpin oleh dua orang utusan dari kelas atau mutakhorrijin, sebagai rais yang akan membacakan materi pembahasan dan sebagai moderator. Musyawarah dibagi dalam empat tahap. Yakni, pembacaan materi serta menyimpulkan materi pembahasan (murod); pertanyaan berkisar pada murod; dan pertanyaan yang berkaitan dengan materi pembahasan. Ketika terdapat permasalahan yang tidak berhasil diselesaikan (mauquf), akan ditindaklanjuti dalam forum bahtsul masa`il.
Penekanan dalam musyawarah ini lebih pada metode pemahaman fiqhiyyah yang hanya berkisar pada komparasi ta’bir-ta’bir (teks-teks) dalam kitab rujukan yang sudah jadi. Artinya, pada musyawarah tingkat ini, wilayah diskusi hanya berkisar pada pemahaman redaksional keterangan dalam kitab kuning saja dan santri tidak diharuskan mampu mendiskusikan materi berdasarkan teori dan prinsip-prinsip fikih secara metodologis.
Pola kajian hukum dalam musyawarah (musyawirin) level ini, dalam melihat suatu kasus harus mencarikan teks-teks dalam kitab-kitab yang telah ditentukan, baik teks itu secara kongkrit menjelaskan status hukum persoalan yang disoroti atau hanya sebagai bahan bandingan. Jika dalam suatu persoalan terdapat beberapa pendapat, maka mereka tidak melakukan pemilihan untuk memutuskan apakah pendapat ulama A atau pendapat ulama B yang lebih kuat dan unggul. Biasanya mereka hanya menyimpulkan bahwa dalam persoalan tersebut terdapat khilâf (kontroversi) di antara ulama.
Sedangkan musyawarah al-Mahalli dilaksanakan setiap malam Senin dan diperuntukkan bagi semua siswa tingkat Aliyah, Mutakhorrijin (alumni) MHM dan siswa tingkat Tsanawiyah yang berminat. Sistemnya hampir mirip dengan musyawarah Fathul Qarib. Hanya saja dalam musyawarah Al-Mahalli, tahap akhir diisi dengan menyelesaikan pembahasan draft yang sebelumnya telah ditentukan. Draft ini berupa pertanyaan-pertanyaan metodologis yang diangkat dari materi atau bab yang sedang dimusyawarahkan.
Di tahun 2011, musyawarah al-Mahalli mengalami perubahan drastis. Model musyawarah sebelumnya yang menitikberatkan pada kajian metodologis ushul fikih, kaidah fikih dan dlawabith tetap dipertahankan. Namun yang digunakan sebagai standar bukan lagi kitab al-Mahalli, melainkan Bidayatul Mujtahid. Dengan perubahan ini para santri diharapkan tidak lagi hanya mampu memahami hasil jadi dan metode dari madzhab Syafi’i saja, namun ke depan juga mampu untuk mengkomparasikan berbagai pendapat, alur pemikiran dan metode ijtihad dari madzhab-madzhab lain atau yang lebih dikenal dengan perbandingan madzhab. Ke depan, diharapkan muncul generasi santri yang berpengetahuan luas dan mumpuni, lintas madzhab, dan lintas konsep.
Di samping itu, dalam musyawarah al-Mahalli dikenalkan sistem musyawarah baru yang dikenal dengan sistem khulashoh. Dalam hal ini, para musyawairin menitikberatkan pembahasan pada meneliti, menganalisa, mengumpulkan berbagai perbedaan pendapat ulama dalam satu persoalan secara komprehensif dari berbagai sisi. Untuk standar tetap menggunakan kitab al-Mahalli dengan menitikberatkan khilafiyyah pada Imam Ibu Hajar al-Haitamiy, Imam Ramli Shoghir, Imam Khothib as-Syirbiniy, Imam Zakariya al-Anshori. Dalam prakteknya seringkali juga muncul pendapat yang berbeda dari ulama lain seperti Imam Ramli Kabir, Imam Syabramalisiy, Imam Zayadi, Imam Ibnu Qasim al-Abbadiy, dan lain-lain.
Untuk program Bahtsul Masa`il dibagi menjadi tiga tingkatan; Ibtidaiyah (MUSGAB), umum dan bahtsul masa`il kubro. Bahtsul masa`il tingkat Ibtidaiyah atau MUSGAB (Musyawarah Gabungan), kendati forum tersebut secara teknis persis sebagaimana bahtsul masa`il pada umumnya, namun kualitas forum ini sepertinya belum layak disebut forum bahtsul masa`il. Karena memang modal berdiskusi siswa Ibtdaiyyah belum dikatakan cukup. Bisa dikata, forum ini sekedar ajang pelatihan dan materi yang diketengahkan terbatas seputar permasalahan nahwu dan shorof. Bahtsul masa`il tingkat Ibtidaiyah ini dilaksanakan dua kali dalam setahun untuk masing-masing kelas. Pesertanya meliputi utusan dari masing-masing lokal dan delegasi yang diundang.
Bahtsul masail umum juga bisa dikatakan bahtsul masail tingkat lokal, karena hanya diikuti oleh intern santri Lirboyo sendiri. Pelaksanaan bahtsul masail tingkat lokal ini diselenggarakan satu kali dalam seminggu, yakni setiap malam Selasa. Bahtsul masa`il ini diselenggarakan oleh Pengurus LBM P2L dan siswa tingkat Tsanawiyah dan Aliyah secara bergilir. Umumnya dalam setahun setiap kelas mendapat giliran menyelenggarakan bahtsul masa`il sebanyak tiga kali. Dua kali yang pertama hanya diikuti peserta dari kelas yang menyelenggarakan bahtsul masa`il. Untuk penyelenggaraan bahtsul masa`il ketiga, mengundang kelas lain, jam’iyah dan pondok-pondok unit (HMC, HMA, HMP, HY & DS).
Masing-masing kelas, jam’iyyah atau pondok unit yang diundang minimal megirimkan dua delegasinya dalam forum ini. Khusus untuk kelas penyelenggara bahtsul masa`il, mereka bisa mengirimkan delegasi lebih dari jumlah yang telah ditetapkan untuk undangan yang lain. Sedangkan bahtsul masa`il yang diselenggarakan Pengurus LBM P2L, dalam setahun umumnya sebanyak enam sampai tujuh kali dan diikuti oleh undangan dari kelas tingkat Tsanawiyah, Aliyah dan pondok Unit (HMC, HMA, HMP, HY, DS & Ar-Risalah).
Mekanisme penjaringan pertanyaan dalam bahtsul masa`il ini berasal dari peserta (mubahitsin) sendiri. Dan dianjurkan persoalan yang diajukan merupakan persoalan yang aktual. Setelah seluruh persoalan terkumpul, selanjutnya Pengurus LBM P2L akan menyeleksi untuk menentukan as’ilah yang layak untuk didiskusikan. Hal ini dilakukan untuk menghindari overlaping (tumpang tindih). Sebab, jika tidak diseleksi, ada kemungkinan persoalan yang diusulkan sebenarnya sudah pernah dibahas pada bahtsul masail di waktu-waktu sebelumnya. Di samping itu, yang demikian juga untuk mengukur tingkat kesulitan persoalan yang diusulkan. Karena, kalau terlalu sulit, hal itu hanya akan menjadi kontra produktif (mauqûf).
Berbeda dengan bahtsul masail umum, bahtsul masail kubro disamping diikuti oleh utusan dari siswa tingkat Tsanawiyah dan Aliyah dan utusan dari pondok Unit, bahtsul masail kubro ini juga diikuti oleh para alumni (Mutakharrijîn) MHM dan utusan dari Pondok Pesantren se Jawa Madura yang diundang. Bahtsul masa`il ini dilaksanakan satu kali dalam satu tahun, yaitu menjelang akhir tahun.
Adapun persoalan yang dikaji dalam bahtsul masail ini merupakan hasil inventarisasi dari peserta bahstul masail sendiri, dan terkadang persoalan yang dikaji juga didapat dari usulan masyarakat luas. Bahkan tak jarang tema yang diangkat adalah isu-isu berskala nasional. Dan dalam konteks ini, LBM P2L bertindak sebagai pihak pelaksana.
Bahtsul masa`il tingkat ini melakukan kerja sama dengan pihak-pihak di luar pesantren seperti NU Cabang Kediri, Perguruan Tinggi se Kota Kediri, dan pesantren-pesantren yang ada di Kota dan Karesidenan Kediri. Seringkali jika pihak pesantren merasa bahwa permasalahan yang disodorkan adalah masalah yang perlu adanya validitas penjelasan yang lebih akurat, pesantren mengundang pihak-pihak yang ahli dalam bidangnya sebagai narasumber, seperti dokter, praktisi hukum, politikus, ekonom, dll. untuk menyampaikan sejumlah informasi mengenai persoalan yang sedang dikaji. Keterlibatan para ilmuan dan praktisi yang berkompeten dibidangnya diharapkan dapat memperjelas duduk persoalan suatu masalah, yang pada gilirannya keputusan-keputusan yang diambil nantinya benar-benar bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Diluar ketiga program utama di atas, LBM P2L juga memiliki kesibukan lain. Seperti menghadiri undangan bahtsul masa`il dari luar Lirboyo, pembuatan karya ilmiah, mengasuh rubrik dalam website dan majalah, menjadi narasumber televisi lokal, radio, seminar dan diskusi-diskusi ilmiah lainnya. http://lbm.lirboyo.net/.

0 komentar:

Posting Komentar