Sastra pesantren dalam beragam bentuknya --hikayat, serat, kisah,
cerita, puisi, roman, novel, syiir, nazoman-- adalah buah karya
orang-orang pesantren dalam mengolah cerita, menulis-ulang hikayat,
hingga membuat karya-karya baru, baik lisan maupun tulisan.
Karya-karya tersebut dibacakan dimana-mana. Didengar oleh orang tua
dan muda secara bersama-sama. Karya-karya sastra tersebut dipandang
sebagai milik mereka, diteruskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, sehingga memiliki karakter komunal, karena berpadu rapat
dengan kehidupan masyarakatnya.
Maka, berbicara tentang “sastra
pesantren” bukan sekedar soal kehadiran suara komunitas pesantren dalam
produksi sastra. Tapi juga sebuah perbincangan tentang subyektifitas
kreatif kalangan pesantren dalam berkebudayaan.
Dalam sejarahnya
sastra pesantren ditulis menggunakan huruf Pego, dengan beragam bahasa
Nusantara. Kandungannya bermacam-macam, mulai dari cerita roman, ada
yang mengandung sejarah dan realitas sosial, hingga cerita-cerita yang
dipenuhi tema-tema moralitas dan kepahlawanan. Meski beragam, tapi
mengandung atau melukiskan kenyataan sosial, bahkan terkesan realis,
yang melibatkan tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial kehidupan
bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya.
Tampilnya pesantren
sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, menunjukkan bahwa
pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga lembaga kehidupan dan
kebudayaan. Pada abad 17 dan 18 pesantren menjadi tempat para pujangga
dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra. Pujangga-pujangga kraton,
seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita, adalah
santri-santri pesantren yang tekun mengembangkan karya-karya sastra
dalam berbagai bentuk seperti kakawin, serat dan babad. Sumber inspirasi
mereka bukan hanya kitab kuning, melainkan juga pengalaman sejarah
bangsa ini sendiri sebagaimana dialami oleh kerajaan Hindu, Budha dan
zaman Wali Sanga.
Yasadipura I (W 1801) misalnya, adalah pujangga
istana dari Kraton Surakarta. Ia pernah nyantri di sebuah pesantren di
Kedu-Bagelen. Kedu, saat itu dikenal mengajarkan kesastraan Jawa maupun
Arab. Dalam satu karya, Serat Cabolek, Yasadipura menggambarkan seorang
ulama dari Kudus, pesisir Jawa Tengah, yang menunjukkan keahliannya
dalam membaca dan menafsirkan naskah-naskah Jawa kuno di hadapan para
priyayi Kraton Surakarta. Cakupan bacaannya sedemikian luas, dari
naskah-naskah Jawa Kuno, Serat Dewaruci hingga Suluk Malang Sumirang.
Karya-karya
pesantren berkisar pada cerita-cerita rakyat, dan juga cerita-cerita
Timur Tengah dan India yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
lokal Islam Nusantara. Seperti Tjarita Ibrahim (1859), Tjarita
Nurulqamar, dan Hibat (1881) ditulis dalam bahasa Sunda dengan aksara
Arab dalam bentuk puisi. Karya-karya Raden Mohammad Moesa (kepala
penghulu Garut dan pernah nyantri di satu pesantren di Purwakarta)
berjumlah 17 naskah berbahsa Sunda pada 1860-an. Yang terkenal di
antaranya adalah Wawacan Panji Wulung. Bahan-bahannya diperoleh dari
pusat-pusat pesantren di sekitar daerah Priangan, Jawa Barat.
Demikian
pula karya-karya Penghulu Haji Hassan Musthafa (1852-1930). Dari
sekitar 49 buah karyanya, kebanyakan diperoleh dari tradisi kesastraan
pesantren. Ciri khas kesastraan pengulu-kepala ini ada pada
bentuk-bentuk bahasa yang berbentuk puisi, tapi penuh lelucon, plastis
tapi orisinil. Selain itu, ia juga mengintegrasikan khazanah fiqih dan
sufisme pesantren ke dalam adat kebiasaan orang Sunda dalam bentuk
simbol-simbol pemaknaan yang akrab.
Pada karya modern yang sudah
menggunakan huruf Latin, ada Pahlawan ti Pesantren (Pahlawan dari
Pesantren). Ini adalah sebuah roman dalam bahasa Sunda, yang
menceritakan perjuangan para santri menghadapi kolonialisme Belanda
karya Ki Umbara (Wiredja Ranusulaksana) (1914-2004) dan S.A. Hikmat
(Soeboer Abdoerrachman) (1918-1971).
Dalam bahasa Jawa, Serat
Jatiswara, Serat Centhini, dan Serat Cabolek adalah contoh-contoh
karya-karya pesantren dari wilayah pesisir utara Jawa. Ini adalah
teks-teks sastra kaum santri sejak abad 17 dan 18, yang diproduksi di
lingkungan kaum santri dan beredar di kalangan kaum santri, terutama di
lingkungan masyarakat pesisir, yang kemudian dibakukan menjadi “milik
kraton” oleh Yasadipura II pada pertengahan abad 19. Kisah perjalanan
kaum santri pengembara (santri lelana) menuntut ilmu di berbagai pondok
dan tempat keramat mendominasi karya-karya ini. Kekayaan tradisi
keillmuan pesantren juga ditunjukkan dalam Hikayat Pocut Muhammad dan
Hikayat Indrapura dalam beberapa versi lokalnya.
Serat Jatiswara
misalnya dalam versi yang beredar dari abad 18 di pesisir utara Jawa dan
Lombok, menunjukkan satu fungsi sosial bagi komunitasnya. Para pemilik
manuskrip kesastraan ini yang kebanyakan berpendidikan pesantren,
menegaskan kepemilikannya dengan menambahkan kolofon, catatan dan tanda
tangan pada dua halaman terakhir. Di daerah pesisir dan dalam suasana
pesantren yang relatif demokratis, pembuatan buku dan penyalinan teks
nampaknya lebih merupakan urusan orang-orang kecil dan masyarakat bawah,
ketimbang dalam kalangan kraton Jawa Tengah. Dalam lingkungan kraton,
manuskrip hanya menjadi miliki segelintir orang.
Fungsi sosial
sastra pesantren ini ditunjukkan dari cara kaum santri melakukan
penggubahan, tulis-ulang, atau penambahan dan penyisipan, untuk
disesuaikan dengan cita-cita sosial-keagamaan kaum pesantren. Seperti
dalam Hikayat Malem Diwa, suatu hikayat berbahasa Melayu dengan huruf
Arab pegon yang sepenuhnya hampir diwarnai oleh kosmologi Hindu. Dalam
naskah tersebut disisipkan satu predikat “guru ngaji di meunasah” kepada
tokoh protagonis. Meski sangat kecil, sisipan tersebut mengandung arti
yang signifikan. Karena keseluruhan konstruksi bercerita berubah total,
dimana pesantren memainkan peran baru dalam memberi spirit dan corak
kesastraan lama. Meski dalam karya tersebut sang tokoh tidak disebut
terang-terangan memeluk agama Islam.
Demikian pula cerita epos I
La Galigo, dengan tokoh protagonisnya, Sawerigading. Karya sastra
berbahasa Bugis ini sepenuhnya berasal dari masa sebelum Islam. Namun,
disisipkan satu versi cerita --lisan dan tertulis-- dimana Sawerigading
nyantri ke Mekkah, naik haji, bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, dan
kembali ke kampungnya mendirikan “masigi”, mesjid plus pondok. Versi
“Sawerigading santri” baik lisan maupun tulisan ini masih terpelihara di
beberapa pesantren Bugis-Makassar.
Sastra pesantren juga mengungkapkan diri
dalam karya-karya etnografis-kesejarahan atau kisah-kisah perjalanan
yang merekam tradisi-tradisi masyarakat setempat dalam bentuk sastra.
Seperti dalam Poerwa Tjarita Bali, ditulis pada 1875 dalam bahasa Jawa,
oleh seorang santri di Pondok Sepanjang, Malang, bernama Raden
Sasrawijaya, asal Yogyakarta. Pengetahuan tentang “kota-kota,
adat-istiadat pembesar dan orang kebanyakan yang tinggal di desa-desa”
ini kemudian dituangkan sebagai bagian dari kegiatan bersastra (maguru
ing sastra) orang-orang pesantren.
Sastra pesantren juga
berkontribusi dalam memperkaya bahasa-bahasa Nusantara dengan khazanah
kosa-kata dan peristilahan berkosmologi pesantren. Bahkan, kekayaan
tersebut membantu penerjemahan karya-karya sastra dari luar.
Penerjemah-penerjemah Tionghoa misalnya menggunakan kosa-kata “santri”,
“ngaji”, “koran”, “langgar”, untuk menerjemahkan satu karya sastra
klasik Cina Daratan, Serat Ang Dok, ke dalam bahasa Jawa dari abad 19.
Demikian pula di awal abad 20. Perhatikan bait terakhir Boekoe Sair
Tiong Hwa Hwe Kwan koetika Boekanja Passar Derma (1905):
Sekalian Hwe Kwan poenja alamat
Terpandang Kwi-khi sebagi djimat
Nabi Kong Hoe-tjoe jang kita hormat
Allah poedjiken dengan slamat
Kini muncul
nama-nama penulis dan sastrawan asal pesantren yang sangat kuat
menonjolkan peradaban dan kejiwaan kaum santri, seperti pada karya-karya
D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor atau karya-karya novelis Ahmad
Tohari, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus).
Namun, di tengah serbuan
sastra Indonesia modern dan kekuatan sastra koran yang didominasi selera
estetika sastra perkotaan, karya-karya kaum santri masih marjinal.
Keberadaan mereka, terutama penulis-penulis muda, menjadi resmi setelah
mendapatkan legitimasi pula baik dari segi tema, alur cerita hingga
bahasa yang digunakan dalam arus sastra kanonik. Karya-karya Abidah
el-Khaliqiy misalnya, meski menampilkan latar pesantren, tapi masih kuat
dorongan ke arah tema utama, individualisasi maupun modernisasi
kosmologi pesantren.
Kreativitas jadi menurun karena bergesernya
di satu sisi fungsi dan peran pesantren, serta situasi yang
melingkupinya. Sementara di sisi lain, menjadi korban diskriminasi oleh
standar-standar umum kesusastraan baik standar tema dan bahasa. Maka
tentu saja pengembangan sastra pesantren setidaknya harus mampu
melepaskan diri dari belenggu tersebut. Di sisi lain kehadiran sastra
pesantren sangat dibutuhkan, seperti yang diperankan di masa lalu, untuk
memberikan warna lain pada sastra dan seni budaya Indonesia pada
umumnya, yang selama ini cenderung satu warna, satu alur dan satu
selera, sehingga kelihatan monoton. Watak moral-religius sastra
pesantren sangat dibutuhkan untuk memberikan spirit baru bagi bangsa ini
untuk berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan
kejujuran
MENU
HOT SELEBRITY
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
naruto
ARTIKEL
Sabtu, 21 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar